
LEG-1 Jambi - Bangkinang
Dua tahun diam bagi mereka, sekumpulan penggiat dan hobiist kegiatan outdoor rasanya seperti dihukum. Di awal tahun 2022 Pemerintah mulai mengatur segala jenis bentuk traveling atapun event dengan aturan yang jelas dan cukup ketat. Dengan mematuhi aturan-aturan tersebut, akhirnya bulan Maret 2022 mereka melaksanakan event Sumatra Tribute yang diikuti oleh tigapuluh lima (35) kendaraan land rover dari seluruh Indonesia.

Konvoy rombongan Sumatra Tribute menuju Sirkuit Suarnadwipa di Muara Bungo. Setelah beberapa hari di jalur hutan, rombongan diundang untuk datang dan melihat langsung sirkuit Off-road Racing Suarnadwipa dan bermalam di area paddock sirkuit.

Malam itu tanggal 2 Februari 2022 sebagian rombongan Sumatra Tribute bergerak dari Jakarta menuju pelabuhan ferry Merak. Malam itu juga mereka akan menyeberangi selat Sunda menuju Lampung, pulau Sumatera. Esok hari subuh mereka sudah mulai bergerak dari Lampung menuju ke Jambi, tapi sebelumnya akan singgah semalam di Palembang untuk memenuhi undangan dari Gubernur Sumatera Selatan.

Antri di pelabuhan Ferry Merak untuk menyeberang ke Lampung, Sumatera.

Malam itu tanggal 2 Februari 2022 sebagian rombongan Sumatra Tribute bergerak dari Jakarta menuju pelabuhan ferry Merak. Malam itu juga mereka akan menyeberangi selat Sunda menuju Lampung, pulau Sumatera. Esok hari subuh mereka sudah mulai bergerak dari Lampung menuju ke Jambi, tapi sebelumnya akan singgah semalam di Palembang untuk memenuhi undangan dari Gubernur Sumatera Selatan.

Antri di pelabuhan Ferry Merak untuk menyeberang ke Lampung, Sumatera.

Peserta bersantai sambil ngobrol-ngobrol ngantuk karena saat itu sekitar jam 3 pagi.
Sampai di Jambi semua peserta melaksanakan protokol kesehatan sesuai dengan aturan pemerintah, yaitu tes Antigen. Ini semua dilakukan oleh dokter dan tenaga medis profesional langsung di hotel. Dari sekian banyak peserta, ada beberapa orang yang positif dan sesuai ketentuan, mereka dirujuk ke rumah sakit untuk pengecekan dan perawatan lebih lanjut.
6 Februari 2022 hari yang ditunggu-tunggu selama dua tahun. Pagi itu hujan deras dari subuh. Mereka semua bersiap dan loading barang ke kendaraan dalam kondisi hujan. Sampai di lokasi Start pun masih hujan. Sumatra Tribute akan dilepas di Citra Raya, area yang merupakan garis finish Camel Trophy 1981. Disana ada sebuah tugu yang dibuat oleh Panitia sebagai simbol bahwa acara ini pernah ada disini. Menarik dan banyak peserta bergantian foto di Tugu kecil itu. Karena siapa yang tahu kapan mereka akan kembali kesana.


Acara pelepasan dihadiri oleh Buwas sebagai ketua (IMI) Ikatan Motor Indonesia dan pejabat lainnya.

Perjalanan ini terlalu panjang dan banyak kisah hanya untuk diulas dari satu sudut pandang, oleh karena itu biarkanlah foto-foto dengan sedikit caption yang dapat bercerita tentang seluruh perjalanan ini kepada para pembaca.

Antrean peserta sebelum memasuki jalur perkebunan sawit. Dulu tahun 1981 sepertinya disini masih banyak hutan.

Karena semalaman diguyur hujan deras, jalur tanah di dalam perkebunan pun menjadi tantangan tersendiri.

Satu jam lalu pakaian para peserta ini masih wangi dan rapi. Sekarang lain ceritanya.

Konvoy kendaraan kuning bergerak rapi keluar masuk jalur perkebunan dan tambang di provinsi Jambi. Awas, jangan lengah! Walaupun jalan ini sepertinya jalanan besar, tapi ada banyak persimpangan. GPS yang terpasang di dashboard mobil jangan sampai diabaikan. Lewat sedikit bisa jauh tersasar.



Jalur ini tidak berat, hanya diawal saja saat mulai memasuki perkebunan sawit. Namun demikian, jalan tanah panjang dan berdebu ini jangan dianggap sepele. Di jalan tambang seperti ini harus konsentrasi penuh, karena selain bisa menyebabkan kantuk, banyak juga truk-truk besar yang melaju kencang. Saat-saat seperti ini, gunakan radio komunikasi untuk bertukar informasi penting dan selain itu juga untuk sekedar mengobrol dan menghilangkan kantuk. Tapi tentunya jangan sampai hilang fungsi sebenarnya.


Malam itu cukup panjang, padahal ini baru malam pertama. Tidak ada basecamp spesifik yang ditentukan untuk camping. Mereka hanya berkendara sejauh mungkin. Tapi kalau melihat bentuk trek seperti gambar diatas, sepertinya sejauh mungkin itu artinya berapa jauh? Menurut informasi dari orang yang lewat, kira-kira 2 kilometer dari situ ada perumahan pekerja sawit. Sepertinya itu tujuan yang baik untuk malam itu. Minimal ada air bersih.
Rencana mereka sekitar jam 19.00 sudah mencapai lokasi tersebut dan bisa istirahat untuk persiapan besok. Meleset. Grup pertama yang mencapai lokasi tersebut merupakan salah satu kendaraan media dan medic, kira-kira jam 11.00 malam mereka sampai disana. Sisanya? Terdengar suara di radio komunikasi malam itu banyak yang mau cari lokasi camping di pinggiran kubangan-kubangan lumpur tersebut. “Terlalu lelah!” katanya. Lebih baik begitu daripada memaksakan dan malah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ini kita masih bicara hari pertama. Bagaimana besok?
Pagi itu kira-kira jam 6 suara ramai sudah membangunkan semua peserta. Para pekerja sawit mulai berangkat kerja. Ada sebuah traktor yang menarik anhang berisi ibu-ibu yang mau berangkat ke kebun. Sepertinya suara ramai itu asalnya dari situ. Karena sudah bangun, maka jam 7 pagi pun diadakan rutinitas briefing, sebelum berangkat jam 8 pagi.


Traktor dengan anhang yang digunakan sebagai alat transportasi para pekerja sawit menuju kebun

Pagi itu kira-kira jam 6 suara ramai sudah membangunkan semua peserta. Para pekerja sawit mulai berangkat kerja. Ada sebuah traktor yang menarik anhang berisi ibu-ibu yang mau berangkat ke kebun. Sepertinya suara ramai itu asalnya dari situ. Karena sudah bangun, maka jam 7 pagi pun diadakan rutinitas briefing, sebelum berangkat jam 8 pagi.

Traktor dengan anhang yang digunakan sebagai alat transportasi para pekerja sawit menuju kebun

Senut sepertinya kurang tidur karena semalaman berusaha menembus kubangan-kubangan lumpur sebelum akhirnya mencapai campsite.
Pemandangan yang luar biasa pagi itu. Kalau dilihat semua kendaraan dan peserta, penampilanya berubah 180 derajat! Yang kemarin masih rapi dan bersih, pagi ini banyak sekali yang terlihat seperti gembel. Ya beginilah adventure off-road! Lagian siapa suruh ikut? Namun tampilan kusut itu bukan berarti hati mereka juga kusut. Malah sebaliknya, semua antusias sekali mendengarkan penjelasan dari grup leader masing-masing tentang trek seperti apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.

Walau tidak digunakan, jembatan ini diperbaiki sedikit agar tidak terlalu berantakan.



Tidak jauh dari situ ada sebuah sungai kecil. Disebelah sungai itu ada jembatan kayu. Kondisi jembatan itu berantakan dan sudah lapuk. Untuk motor sepertinya masih bisa, tapi dilalui roda empat pasti ambruk. Mereka tidak mau menggangu jalur transportasi warga sana, jadi turun lewat sungai jalan satu-satunya. Hanya beberapa mobil diawal saja yang lumayan makan waktu karena masih coba-coba beberapa metode. Setelah ketemu cara yang terbaik, semua ikut. Lepas dari sana mereka melanjutkan perjalanan sekitar 2 jam sebelum sampai di satu Desa kecil di tepi sungai yang cukup besar, desa Batu Sawar.



Dokter Galuh berinteraksi dengan anak-anak kecil yang baru pulang sekolah.


Foto Range Rover Classic diseberangkan menggunakan pontoon oleh warga Batu Sawar. Sumatra Tribute 2022.

Foto asli dari acara Camel Trophy Sumatra 1981 saat mereka menyeberang ke Tuo Ilir menggunakan Pontoon. Foto dari buku Camel Trophy the Definitive History yang ditulis oleh Nick Dimbleby, seorang mantan Fotografer untuk Camel Trophy.
Desa Tuo Ilir adalah tujuan hari itu. Mereka mengadakan bakti sosial disana terutama sarana pendidikan untuk anak-anak. Jadi selain bahan pokok, kebanyakan merupakan alat-alat sekolah dan belajar. Dari desa Batu Sawar mereka menggunakan Pontoon rakitan orang kampung sana yang memang dimodifikasi khusus untuk kendaraan-kendaraan kuning itu. Sepintas terlihat tidak meyakinkan sama sekali. Tapi semua berhasil lewat dan mendarat di seberang sungai yaitu desa Tuo Ilir. Beda dengan seberang, desa Tuo Ilir ini tergenang banjir. Sepertinya memang langganan karena bisa dilihat dari tanda bekas air di kaki-kaki rumah panggung warga. Tanda bekas air itu sekitar 1 meter diatas genangan air yang sekarang.



Ini adalah jalan desa Tuo Ilir. Sedang dilanda banjir, rombongan terlihat seperti sedang melintasi sungai.
Lanjut, karena waktu tidak banyak. Mereka akan menghadapi satu rintangan lagi. Sungai tapi tidak terlalu dalam dan target mereka adalah melewati sungai tersebut sebelum gelap. Biasanya kalau gelap itu, rintangan kecil saja bisa mendadak jadi berat.


Sungai yang harus diseberangi selbelum gelap.


Dan malam pun tiba. Masih diseputaran jalur lumpur dan kubangan, beberapa kendaraan peserta mulai mengalami masalah demi masalah. Keadaan yang sudah sering dan cenderung biasa ditemui saat off-road. Perbaikan pun dilakukan ditengah jalur dan malam hari agar bisa lekas mencapai lokasi campsite berikutnya. Tapi tidak ada yang pasti kala off-road itu, semuanya dicoba saja. Kapan sampai itu kalau kata orang-orang, tergantung amal.
Banyak juga yang berpikir lebih strategis dan memilih mencari lokasi camping sekitar jalur bejat tersebut. Karena buat apa dipaksakan? Paling-paling juga maju beberapa kilometer saja. Tidak ada bedanya dengan besok.
Yang jelas kalau sudah buka tenda pasti tidak lama akan terlihat asap mengepul dan tercium wangi aroma makanan. Itu tanda saatnya mesin dimatikan dan mereka beristirahat.

Masing-masing kendaraan punya ‘setelan’ unik saat mereka membuka bagasi/pintu belakang mereka. Biasanya peserta saling berbagi ilmu dan pengalaman seputar manajemen barang dan bawaan, didepan pintu bagasi tersebut.


Singgah di Sirkuit Suarnadwipa. Setelah beberapa hari berjibaku dengan lumpur dan tidur dihutan/perkebunan. Hari itu mereka masuk ke sirkuit dan sekaligus mengadakan bakti sosial untuk suku Anak Dalam. Bakti sosialnya berupa bibit-bibit Jernang, tanaman endemi bukit 12 yang banyak manfaatnya sehingga tidak kalah dengan Sawit. Orang Rimba menggunakan tanaman ini untuk banyak hal dalam kehidupan sehari-hari mereka. Selain itu juga Jernang akan menjaga hutan mereka tetap alami karena bukan tanaman dari luar hutan.


Banyaknya tali air dan batu-batu besar sepanjang perjalanan akhirnya makan korban. Dengan beban yang demikian berat, Land Rover yang dikendarai Luqman dan Hendra kopel-nya melintir dan putus! Tentunya tidak bisa lanjut karena mereka butuh 4×4-nya. Solusinya adalah diperbaiki atau ditarik. Ditarik pun akan beresiko bagi mobil penariknya.


Akhirnya diperbaiki seadanya dan lalu dibantu tarik oleh kendaraan Bule, agar beban tidak terlalu berat pada kopel yang di las. Bergerak pun harus extra hati-hati agar tidak putus lagi. Perjalanan masih jauh! Dengar-dengar next obstacle adalah sungai. Mudah-mudahan tidak ada masalah lagi sampai basecamp nanti.


Akhirnya diperbaiki seadanya dan lalu dibantu tarik oleh kendaraan Bule, agar beban tidak terlalu berat pada kopel yang di las. Bergerak pun harus extra hati-hati agar tidak putus lagi. Perjalanan masih jauh! Dengar-dengar next obstacle adalah sungai. Mudah-mudahan tidak ada masalah lagi sampai basecamp nanti.
Banyaknya tali air dan batu-batu besar sepanjang perjalanan akhirnya makan korban. Dengan beban yang demikian berat, Land Rover yang dikendarai Luqman dan Hendra kopel-nya melintir dan putus! Tentunya tidak bisa lanjut karena mereka butuh 4×4-nya. Solusinya adalah diperbaiki atau ditarik. Ditarik pun akan beresiko bagi mobil penariknya.


Akhirnya perkebunan sawit perlahan mereka tinggalkan dan mulai memasuki hutan belantara Sumatera. Sawit di Sumatera memang sudah berumur, artinya 40 tahun lalu saat Camel Trophy digelar, pasti sudah ada jalur yang melewati perkebunan sawit juga. Namun jalur hutannya pasti lebih banyak daripada saat ini.
Ini daerah Sitiung. Saat masuk hutan adrenalin mulai terpacu, dan benar saja, tidak jauh mereka sudah berjumpa dengan satu tantangan lagi yaitu turunan curam yang ada sungai kecil didasarnya.





Proses turun cukup membuat deg-degan karena cukup curam sehingga semua kendaraan harus cantol winch ke mobil yang ada di belakangnya agar tidak tergelincir ke dasae sungai. Sungainya sendiri kecil tidak dalam sama sekali, hanya saja dasarnya lumpur jadi mobil mudah sekali tersangkut sehingga proses winching naik memang makan waktu.



Rombongan terpisah di sungai ini, ada yang bermalam di sebelum sungai dan setelah sungai. Grup C (setelah sungai) lelah karena proses recovery yang panjang dan sementara grup A (sebelum sungai) lelah karena proses menunggu yang juga tidak kalah lama. Malam itu sayup-sayup terdengar nyanyian selamat ulang tahun. Alex Musni Hafaz seorang peserta dari Aceh ternyata berulang tahun. Sungguh mewah acaranya tahun ini, ditemani taburan bintang-bintang dilangit dan konser suara jangkrik serta binatang hutan lainnya.


Esoknya proses penyeberangan sungai kecil di Sitiung berlanjut. Semua mau ambil bagian dalam recovery ini. Tidak terkecuali dokter-dokter muda ini. Image stereotype dari seorang dokter yang bersih dan klimis nampak sudah punah disini. Dokter-dokter Sumatra Tribute tidak mau diam saja, mereka semua ambil peran sehingga menjadikan mereka sebagai dokter / crew / co-driver / lainnya. Harus bisa dan mau double, triple bahkan quadruple job dalam ekspedisi ini.

Akhirnya di campsite yang berikutnya ada sungai yang cukup besar dan jernih airnya! Karena sampai di campsite masih sekitar jam 4 sore, maka waktu kosong yang jarang ada dalam beberapa hari belakangan ini mereka gunakan untuk bersih-bersih di aliran air yang bersih tersebut. Ketemu sungai rasanya seperti anak kecil yang diajak main ke kolam renang saat akhir pekan. Senang dan menyegarkan!

Akhirnya di campsite yang berikutnya ada sungai yang cukup besar dan jernih airnya! Karena sampai di campsite masih sekitar jam 4 sore, maka waktu kosong yang jarang ada dalam beberapa hari belakangan ini mereka gunakan untuk bersih-bersih di aliran air yang bersih tersebut. Ketemu sungai rasanya seperti anak kecil yang diajak main ke kolam renang saat akhir pekan. Senang dan menyegarkan!
Esoknya semua peserta layaknya handphone sudah ‘fully charged’ dengan istirahat yang cukup, dan juga mobil-mobil yang hanya sempat diperbaiki ala kadar-nya, bisa dibongkar kemarin sore dan diperbaiki dengan baik. Setelah briefing pagi mereka melanjutkan perjalanan karena jam 8 pagi pun sudah terasa matahari makin terik. Buat apa juga lama-lama disana.

Jembatan kayu ini setelah dicek ternyata sudah lapuk di beberapa bagian. Untuk menopang berat kendaraan-kendaraan mereka, reinforecement terhadap beberapa bagian harus dilakukan.

Syamsu (Leader Bravo) dibantu Iwan Sakri (Ketua IOF DKI) memperkuat jembatan yang akan mereka gunakan.

Menggunakan sand ladder dan beberapa strap, bagian yang lapuk diperkuat. Memang tidak maksimal, lebih baik jika ada balok-balok kayu. Saat itu tidak dapat ditemukan kayu atau apapun disekitar lokasi tersebut. Improvisasi dan adaptasi pada keadaan adalah kunci utama ‘survival’ dalam berpetualang.





Melintas di daerah Lipat Kain tentu singgah di Tugu Ekuator. Camel Trophy memang mayoritas diadakan disepanjang garis ekuator. Karena dimana ada garis ekuator, disana pasti kondisi alam dan cuacanya ekstrem dan tropis. Ketahanan fisik manusia yang menjadi peserta pun benar-benar dicoba sampai batas yang tidak jelas. Semua tergantung alam.
Tugu ekuator ini sama dengan yang mereka datangi saat Dry-Run, hanya saja waktu itu masih dalam tahap renovasi. Tugu ini bentuknya ya tugu saja, lucunya font yang digunakan terlihat seperti font ‘Comic Sans’ bawaan software paint gratisan di microsoft windows.


Tidak lama dari Lipat Kain, mulai masuk lagi ke jalur off-road. Baru masuk saja sudah seperti ini kondisinya. Beruntung tidak ada yang rusak, karena proses winching di jalur ini cukup menguras tenaga winch dan accu. Kombinasi winch ‘WARN’ dan accu ‘EMTRAC’ ternyata cocok! Satu persatu kendaraan pun melewati rintangan ini dengan aman.



Jalanan gravel yang bisa dibilang mulus setelah melewati jalur-jalur kubangan sebelumnya. Terutama karena pemandang di perkebunan Eukalyptus ini indah membelah bukit dengan kontur yang naik turun. Melihat konvoy mobil ini seperti sedang nonton film-film cinematic.
Antrean mobil peserta sebelum memasuki obstacle berikutnya, sungai. Ya betul, sungai lagi! Untung sekali airnya sedang surut sehingga yang tadinya sekitar 170 cm, skarang sisa sekitar 30 cm.

Membersihkan jalur dari sisa-sisa jembatan kayu yang roboh terseret air saat debit air tinggi di musim hujan.

Series III bergaya CT Zaire ’83 milik Harry Oktavian merupakan salah satu kendaraan yang pertama kali menjajal trek ini. Berada di bagian depan ada tantangan tersendiri, terutama membersihkan jalur dari pohon-pohon tumbang dan semak belukar.

Lepas dari sungai kecil tersebut, grup Bravo lanjut menaiki bukit didepan agar grup lainnya bisa menyeberang. Jalurnya sudah direklaim oleh hutan. Sehinggga tebal sekali semak-semak dan pakisnya. Selain itu juga jarak winching pointnya jauh-jauh. Seringkali drum winch terlihat hampir habis gulungannya.
Selesai jalur winching panjang ini, mereka lagi-lagi dihadapkan dengan sungai. Terakhir kali Dry-Run disini pepohonannya lebat. Sekarang nampaknya baru saja ditebangi. Mungkin karena ini area perkebunan, jadi pohon-pohonnya ditebang untuk di panen. Yang jadi masalah buat mayoritas peserta adalah banyaknya kayu-kayu berserakan sehingga ada saja masalah-masalah selain karena kayu itu juga menghalangi jalur. Contohnya pada mobil media. Saat winching naik dari sungai, ada kayu yang menusuk masuk diantara ban dan pelek mobil. Ban kempes tapi mobil tetap diusahakan naik dulu ke tempat yang rata untuk perbaikan. Karena sangat sulit posisi untuk melakukan apa-apa di tanjakan yang banyak kayu berserakan.
Selain itu juga cuaca siang itu amat sangat panas, sehingga banyak peserta yang memilih bertelanjang dada sambil ada juga yang memanfaatkan sungai untuk berendam. “Lumayan untuk mendinginkan badan”, kata Bule.

Lain halnya bagi “Si Kembar”, duo Freelander. Salah satu dari mereka patah dudukan gardannya saat winching naik dari sungai. Bisa jadi tersangkut di tunggul pohon saat winching. Kalau sudah begini tidak mungkin diteruskan keatas seperti mobil media tadi. Ini harus diperbaiki ditempat. Karena ini berhubungan dengan banyak hal seperti suspensi dan kopel juga. Kalau dipaksa naik bisa-bisa yang lain ikut terseret dan patah juga.


Hari itu kebetulan grup Bravo (grup-nya si Kembar) ada di posisi belakang sehingga tidak terlalu mengganggu jalur grup Alpha dan Charlie yang sudah lebih dahulu menyeberang. Oleh karena itu mereka langsung bongkar peralatan dan melakukan perbaikan. Karena ini perbaikan yang lumayan akan makan waktu.
Seluruh crew dari dua mobil tersebut saling bantu agar pekerjaan bisa selesai sebelum gelap. Tidak ketinggalan juga Leader grup Bravo, Syamsu Setiabudi, setia menunggu dan siap memberikan bantuan kepada si Kembar jika dibutuhkan. Keputusan yang baik dan bertanggung jawab sebagai Leader. Semua peserta grup Bravo dipersilakan oleh Syamsu untuk meluncur menuju Bangkinang terlebih dahulu agar bisa berisitirahat di Sungai Hijau (betul itu nama daerahnya, bukan Obstacle lagi). Sementara Syamsu menunggu perbaikan sampai selesai dan rencananya akan meluncur bersama si Kembar ke Sungai Hijau.


Rencana boleh-boleh saja tapi kenyataan bisa berkata lain. Perbaikan tersebut makan banyak waktu sehingga subuh mereka baru bisa mencapai basecamp berikutnya. Tapi tidak apa, yang penting semua sehat dan selamat sampai tujuan. Salut pada si Kembar yang tidak patah semangat dan juga Leader grup Bravo yang tidak meninggalkan anggota grupnya! Solidaritas garis keras.

Useful Links
©2022 SANDGLOW All Rights Reserved.